Wednesday 20 February 2019

Sikap terhadap pemimpin yang dzalim

Penulis Muhammad Abduh Tuasikal, MSc -  January 25, 2013

Rosululloh shallahu alaihi wasallam bersabda :
“Saya memberi wasiat kepada kalian agar tetap bertaqwa kepada Allah ‘azza wa jalla, tetap mendengar dan ta’at walaupun yang memerintah kalian seorang hamba sahaya (budak)”. (HR. Abu Daud dan At Tirmidzi, Hadits Hasan Shahih)

Islam lewat lisan Nabinya telah mengajarkan bagaimana kita bermuamalah dengan pemerintah atau penguasa. Sebagian kalangan bersikap keras sehingga mudah mengkafirkan. Sebagian lagi bersikap lembek. Sikap terbaik yang menjadi akidah seorang muslim adalah tetap menasehati penguasanya dengan baik tatkala mereka tergelincir. Penyampaian nasehat ini pula disalurkan dengan cara yang baik, bukan dengan menyebarkan aib mereka di depan umum. Juga prinsip penting dalam muamalah dengan penguasa adalah tetap mentaati mereka selama mereka masih muslim, walaupun mereka berbuat zholim. Berikut nasehat Nabi kita -shallallahu ‘alaihi wa sallam- dan para ulama dalam hal ini.

Dari Abu Najih, Al ‘Irbadh bin Sariyah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memberi nasehat kepada kami dengan satu nasehat yang menggetarkan hati dan menjadikan air mata berlinang”. Kami (para sahabat) bertanya, “Wahai Rasulullah, nasihat itu seakan-akan adalah nasihat dari orang yang akan berpisah, maka berilah kami wasiat.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

أُوْصِيْكُمْ بِتَقْوَى اللهِ عَزَّوَجَلَّ , وَالسَّمْعِ وَالطَّاعَةِ وَإِنْ تَأَمَّرَ عَلَيْكَ عَبْدٌ

“Saya memberi wasiat kepada kalian agar tetap bertaqwa kepada Allah ‘azza wa jalla, tetap mendengar dan ta’at walaupun yang memerintah kalian seorang hamba sahaya (budak)”. (HR. Abu Daud dan At Tirmidzi, Hadits Hasan Shahih)

Mentaati Pemimpin dalam Kebajikan

Ta’at kepada pemimpin adalah suatu kewajiban sebagaimana disebutkan dalam Al Kitab dan As Sunnah. Di antaranya Allah Ta’ala berfirman,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ

“Hai orang-orang yang beriman, ta’atilah Allah dan ta’atilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu.” (QS. An Nisa’ [4] : 59)

Dalam ayat ini Allah menjadikan ketaatan kepada pemimpin pada urutan ketiga setelah ketaatan pada Allah dan Rasul-Nya. Namun, untuk pemimpin di sini tidaklah datang dengan lafazh ‘ta’atilah’ karena ketaatan kepada pemimpin merupakan ikutan (taabi’) dari ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam. Oleh karena itu, apabila seorang pemimpin memerintahkan untuk berbuat maksiat kepada Allah, maka tidak ada lagi kewajiban dengar dan ta’at.

Makna zhohir (tekstual) dari hadits ini adalah kita wajib mendengar dan ta’at kepada pemimpin walaupun mereka bermaksiat kepada Allah dan tidak menyuruh kita untuk berbuat maksiat kepada Allah. Karena terdapat hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dari Hudzaifah bin Al Yaman.

Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

« يَكُونُ بَعْدِى أَئِمَّةٌ لاَ يَهْتَدُونَ بِهُدَاىَ وَلاَ يَسْتَنُّونَ بِسُنَّتِى وَسَيَقُومُ فِيهِمْ رِجَالٌ قُلُوبُهُمْ قُلُوبُ الشَّيَاطِينِ فِى جُثْمَانِ إِنْسٍ ». قَالَ قُلْتُ كَيْفَ أَصْنَعُ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنْ أَدْرَكْتُ ذَلِكَ قَالَ « تَسْمَعُ وَتُطِيعُ لِلأَمِيرِ وَإِنْ ضُرِبَ ظَهْرُكَ وَأُخِذَ مَالُكَ فَاسْمَعْ وَأَطِعْ ».

“Nanti setelah aku akan ada seorang pemimpin yang tidak mendapat petunjukku (dalam ilmu, pen) dan tidak pula melaksanakan sunnahku (dalam amal, pen). Nanti akan ada di tengah-tengah mereka orang-orang yang hatinya adalah hati setan, namun jasadnya adalah jasad manusia. “

Aku berkata, “Wahai Rasulullah, apa yang harus aku lakukan jika aku menemui zaman seperti itu?”

Beliau bersabda, ”Dengarlah dan ta’at kepada pemimpinmu, walaupun mereka menyiksa punggungmu dan mengambil hartamu. Tetaplah mendengar dan ta’at kepada mereka.” (HR. Muslim no. 1847. Lihat penjelasan hadits ini dalam Muroqotul Mafatih Syarh Misykah Al Mashobih, 15/343, Maktabah Syamilah)

Padahal menyiksa punggung dan mengambil harta tanpa ada sebab yang dibenarkan oleh syari’at –tanpa ragu lagi- termasuk maksiat. Seseorang tidak boleh mengatakan kepada pemimpinnya tersebut, “Saya tidak akan ta’at kepadamu sampai engkau menaati Rabbmu.” Perkataan semacam ini adalah suatu yang terlarang. Bahkan seseorang wajib menaati mereka (pemimpin) walaupun mereka durhaka kepada Rabbnya.

Adapun jika mereka memerintahkan kita untuk bermaksiat kepada Allah, maka kita dilarang untuk mendengar dan mentaati mereka. Karena Rabb pemimpin kita dan Rabb kita (rakyat) adalah satu yaitu Allah Ta’ala oleh karena itu wajib ta’at kepada-Nya. Apabila mereka memerintahkan kepada maksiat maka tidak ada kewajiban mendengar dan ta’at.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لاَ طَاعَةَ فِى مَعْصِيَةٍ ، إِنَّمَا الطَّاعَةُ فِى الْمَعْرُوفِ

“Tidak ada kewajiban ta’at dalam rangka bermaksiat (kepada Allah). Ketaatan hanyalah dalam perkara yang ma’ruf (bukan maksiat).” (HR. Bukhari no. 7257)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,

عَلَى الْمَرْءِ الْمُسْلِمِ ، فِيمَا أَحَبَّ وَكَرِهَ ، مَا لَمْ يُؤْمَرْ بِمَعْصِيَةٍ ، فَإِذَا أُمِرَ بِمَعْصِيَةٍ فَلاَ سَمْعَ وَلاَ طَاعَةَ

“Seorang muslim wajib mendengar dan taat dalam perkara yang dia sukai atau benci selama tidak diperintahkan untuk bermaksiat. Apabila diperintahkan untuk bermaksiat, maka tidak ada kewajiban mendengar dan taat.” (HR. Bukhari no. 7144)

(Pembahasan ini kami sarikan dari penjelasan Syaikh Muhammad bin Sholih Al Utsaimin dalam Syarh Arba’in An NAwawiyah, hal. 279, Daruts Tsaroya)

Bersabarlah terhadap Pemimpin yang Zholim

Ibnu Abil ‘Izz mengatakan,

“Hukum mentaati pemimpin adalah wajib, walaupun mereka berbuat zholim (kepada kita). Jika kita keluar dari mentaati mereka maka akan timbul kerusakan yang lebih besar dari kezholiman yang mereka perbuat. Bahkan bersabar terhadap kezholiman mereka dapat melebur dosa-dosa dan akan melipat gandakan pahala. Allah Ta’ala tidak menjadikan mereka berbuat zholim selain disebabkan karena kerusakan yang ada pada diri kita juga. Ingatlah, yang namanya balasan sesuai dengan amal perbuatan yang dilakukan (al jaza’ min jinsil ‘amal). Oleh karena itu, hendaklah kita bersungguh-sungguh dalam istigfar dan taubat serta berusaha mengoreksi amalan kita.

Perhatikanlah firman Allah Ta’ala berikut,

وَمَا أَصَابَكُمْ مِنْ مُصِيبَةٍ فَبِمَا كَسَبَتْ أَيْدِيكُمْ وَيَعْفُو عَنْ كَثِيرٍ

“Dan apa saja musibah yang menimpa kamu maka adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri, dan Allah memaafkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu).” (QS. Asy Syura [42] : 30)

أَوَلَمَّا أَصَابَتْكُمْ مُصِيبَةٌ قَدْ أَصَبْتُمْ مِثْلَيْهَا قُلْتُمْ أَنَّى هَذَا قُلْ هُوَ مِنْ عِنْدِ أَنْفُسِكُمْ

“Dan mengapa ketika kamu ditimpa musibah (pada peperangan Uhud), padahal kamu telah menimpakan kekalahan dua kali lipat kepada musuh-musuhmu (pada peperangan Badar), kamu berkata: “Dari mana datangnya (kekalahan) ini?” Katakanlah: “Itu dari (kesalahan) dirimu sendiri”.” (QS. Ali Imran [3] : 165)

مَا أَصَابَكَ مِنْ حَسَنَةٍ فَمِنَ اللَّهِ وَمَا أَصَابَكَ مِنْ سَيِّئَةٍ فَمِنْ نَفْسِكَ

“Apa saja ni’mat yang kamu peroleh adalah dari Allah, dan apa saja bencana yang menimpamu, maka dari (kesalahan) dirimu sendiri.” (QS. An Nisa’ [4] : 79)

Allah Ta’ala juga berfirman,

وَكَذَلِكَ نُوَلِّي بَعْضَ الظَّالِمِينَ بَعْضًا بِمَا كَانُوا يَكْسِبُونَ

“Dan demikianlah Kami jadikan sebahagian orang-orang yang zalim itu menjadi teman bagi sebahagian yang lain disebabkan apa yang mereka usahakan.” (QS. Al An’am [6] : 129)

Apabila rakyat menginginkan terbebas dari kezholiman seorang pemimpin, maka hendaklah mereka meninggalkan kezholiman.

(Inilah nasehat yang sangat bagus dari seorang ulama Robbani. Lihat Syarh Aqidah Ath Thohawiyah, hal. 381, Darul ‘Aqidah)

Ingatlah: Semakin Baik Rakyat, Semakin Baik Pula Pemimpinnya

Ibnu Qayyim Al Jauziyah rahimahullah mengatakan,

“Sesungguhnya di antara hikmah Allah Ta’ala dalam keputusan-Nya memilih para raja, pemimpin dan pelindung umat manusia adalah sama dengan amalan rakyatnya bahkan perbuatan rakyat seakan-akan adalah cerminan dari pemimpin dan penguasa mereka. Jika rakyat lurus, maka akan lurus juga penguasa mereka. Jika rakyat adil, maka akan adil pula penguasa mereka. Namun, jika rakyat berbuat zholim, maka penguasa mereka akan ikut berbuat zholim. Jika tampak tindak penipuan di tengah-tengah rakyat, maka demikian pula hal ini akan terjadi pada pemimpin mereka. Jika rakyat menolak hak-hak Allah dan enggan memenuhinya, maka para pemimpin juga enggan melaksanakan hak-hak rakyat dan enggan menerapkannya. Jika dalam muamalah rakyat mengambil sesuatu dari orang-orang lemah, maka pemimpin mereka akan mengambil hak yang bukan haknya dari rakyatnya serta akan membebani mereka dengan tugas yang berat. Setiap yang rakyat ambil dari orang-orang lemah maka akan diambil pula oleh pemimpin mereka dari mereka dengan paksaan.

Dengan demikian setiap amal perbuatan rakyat akan tercermin pada amalan penguasa mereka. Berdasarkah hikmah Allah, seorang pemimpin yang jahat dan keji hanyalah diangkat sebagaimana keadaan rakyatnya. Ketika masa-masa awal Islam merupakan masa terbaik, maka demikian pula pemimpin pada saat itu. Ketika rakyat mulai rusak, maka pemimpin mereka juga akan ikut rusak. Dengan demikian berdasarkan hikmah Allah, apabila pada zaman kita ini dipimpin oleh pemimpin seperti Mu’awiyah, Umar bin Abdul Azis, apalagi dipimpin oleh Abu Bakar dan Umar, maka tentu pemimpin kita itu sesuai dengan keadaan kita. Begitu pula pemimpin orang-orang sebelum kita tersebut akan sesuai dengan kondisi rakyat pada saat itu. Masing-masing dari kedua hal tersebut merupakan konsekuensi dan tuntunan hikmah Allah Ta’ala.” (Lihat Miftah Daaris Sa’adah, 2/177-178)

Pada masa pemerintahan ‘Ali bin Abi Tholib radhiyallahu ‘anhu ada seseorang yang bertanya kepada beliau, “Kenapa pada zaman kamu ini banyak terjadi pertengkaran dan fitnah (musibah), sedangkan pada zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak?

Ali menjawab,

“Karena pada zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menjadi rakyatnya adalah aku dan sahabat lainnya. Sedangkan pada zamanku yang menjadi rakyatnya adalah kalian.”

Oleh karena itu, untuk mengubah keadaan kaum muslimin menjadi lebih baik, maka hendaklah setiap orang mengoreksi dan mengubah dirinya sendiri, bukan mengubah penguasa yang ada. Hendaklah setiap orang mengubah dirinya yaitu dengan mengubah aqidah, ibadah, akhlaq dan muamalahnya. Perhatikanlah firman Allah Ta’ala,

إِنَّ اللَّهَ لَا يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتَّى يُغَيِّرُوا مَا بِأَنْفُسِهِمْ

“Sesungguhnya Allah tidak akan merubah keadaan suatu kaum sehingga mereka merubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri” (QS. Ar Ra’du [13] : 11) (Dinukil dari buku Ustadz Yazid bin Abdil Qodir Jawas, Nasehat Perpisahan, hadits Al ‘Irbadh)

Menegakkan Negara Islam

Ada seorang da’i saat ini berkata,

أَقِيْمُوْا دَوْلَةَ الإِسْلاَمِ فِي قُلُوْبِكُمْ، تَقُمْ لَكُمْ عَلَى أَرْضِكُمْ

“Tegakkanlah Negara Islam di dalam hati kalian, niscaya negara Islam akan tegak di bumi kalian.”

Bukanlah jalan melepaskan diri dari kezoliman penguasa adalah dengan mengangkat senjata melalui kudeta yang termasuk bid’ah pada saat ini. Pemberontakan semacam ini telah menyelisihi nash-nash yang memerintahkan untuk merubah diri sendiri terlebuh dahulu dan membangun bangunan dari pondasi (dasar). Allah Ta’ala berfirman,

وَلَيَنْصُرَنَّ اللَّهُ مَنْ يَنْصُرُهُ إِنَّ اللَّهَ لَقَوِيٌّ عَزِيزٌ

“Sesungguhnya Allah pasti menolong orang yang menolong (agama)-Nya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Kuat lagi Maha Perkasa.” (QS. Al Hajj [22] : 40)

Jalan keluar dari kezholiman penguasa –di mana kulit mereka sama dengan kita dan berbicara dengan bahasa kita- adalah dengan :

1. Bertaubat kepada Allah Ta’ala

2. Memperbaiki aqidah

3. Mendidik diri dan keluarga dengan ajaran Islam yang benar

(At Ta’liqot Al Atsariyah ‘alal Aqidah Ath Thohawiyah li Aimmati Da’wah Salafiyah, 1/42, Maktabah Syamilah)

Oleh karena itu, setiap da’i yang ingin mendakwahkan islam hendaklah memulai dakwahnya dengan dakwah tauhid. Inilah dakwah para Nabi dan dakwah pertama yang Nabi perintahkan kepada da’i dari kalangan sahabat untuk menyampaikannya kepada umat. Para sahabat tidaklah diperintahkan untuk menegakkan khilafah islamiyah terlebih dahulu atau menguasai pemerintahan melalui politik. Namun, dakwah yang beliau perintah untuk disampaikan pertama kali adalah dakwah tauhid.

Lihatlah nasehat beliau shallahu ‘alaihi wa sallam ketika beliau mengutusnya ke Yaman –negeri Ahli Kitab-,

إِنَّكَ تَقْدَمُ عَلَى قَوْمٍ أَهْلِ كِتَابٍ ، فَلْيَكُنْ أَوَّلَ مَا تَدْعُوهُمْ إِلَيْهِ عِبَادَةُ اللَّهِ ، فَإِذَا عَرَفُوا اللَّهَ فَأَخْبِرْهُمْ أَنَّ اللَّهَ قَدْ فَرَضَ عَلَيْهِمْ خَمْسَ صَلَوَاتٍ فِى يَوْمِهِمْ وَلَيْلَتِهِمْ

“Sesungguhnya engkau akan mendatangi kaum Ahli Kitab. Jadikanlah dakwah pertamamu kepada mereka adalah untuk beribadah kepada Allah (mentauhidkannya). Apabila mereka sudah mentauhidkan Allah, beritahukanlah mereka bahwa Allah mewajibkan shalat lima waktu sehari semalam kepada mereka.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Jauhilah Pertumpahan Darah

Kita harus memperhatikan kewajiban mendengar dan taat kepada penguasa. Karena, bila kita tidak mentaati mereka, maka akan terjadi kekacauan, pertumpahan darah dan terjadi korban pada kaum muslimin. Ingatlah bahwa darah kaum muslimin itu lebih mulia daripada hancurnya dunia ini. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لَزَوَالُ الدُّنْيَا أَهْوَنُ عَلَى اللَّهِ مِنْ قَتْلِ رَجُلٍ مُسْلِمٍ

“Hancurnya dunia ini lebih ringan (dosanya) daripada terbunuhnya seorang muslim.” (HR. Tirmidzi)

Allah Ta’ala berfirman,

مَنْ قَتَلَ نَفْسًا بِغَيْرِ نَفْسٍ أَوْ فَسَادٍ فِي الْأَرْضِ فَكَأَنَّمَا قَتَلَ النَّاسَ جَمِيعًا

“Barangsiapa yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu (membunuh) orang lain , atau bukan karena membuat kerusakan dimuka bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh manusia seluruhnya.” (QS. Al Ma’idah [5] : 32)

Sekarang kita dapat menyaksikan orang-orang yang memberontak kepada penguasa. Mereka hanya mengajak kepada pertumpahan darah dan banyak di antara kaum muslimin yang tidak bersalah menjadi korban.

Yang wajib dan terbaik adalah mendengar dan mentaati mereka. Namun bukan berarti tidak ada amar ma’ruf nahi mungkar. Hal itu tetap ada tetapi harus dilakukan menurut kaedah yang telah ditetapkan oleh syari’at yang mulia ini.

Hendaklah Kita Mendoakan Pemimpin Kita

Sebagaimana dalam penjelasan yang telah lewat bahwa pemimpin adalah cerminan rakyatnya. Jika rakyat rusak, maka pemimpin juga akan demikian. Maka hendaklah kita selalu mendo’akan pemimpin kita dan bukanlah mencelanya. Karena do’a kebaikan kita kepada mereka merupakan sebab mereka menjadi baik sehingga kita juga akan ikut baik. Ingatlah pula bahwa do’a seseorang kepada saudaranya dalam keadaan saudaranya tidak mengetahuinya adalah salah satu do’a yang terkabulkan.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

دَعْوَةُ الْمَرْءِ الْمُسْلِمِ لأَخِيهِ بِظَهْرِ الْغَيْبِ مُسْتَجَابَةٌ عِنْدَ رَأْسِهِ مَلَكٌ مُوَكَّلٌ كُلَّمَا دَعَا لأَخِيهِ بِخَيْرٍ قَالَ الْمَلَكُ الْمُوَكَّلُ بِهِ آمِينَ وَلَكَ بِمِثْلٍ

“Do’a seorang muslim kepada saudaranya ketika saudaranya tidak mengetahuinya adalah do’a yang mustajab (terkabulkan). Di sisinya ada malaikat (yang memiliki tugas mengaminkan do’anya kepada saudarany, pen). Ketika dia berdo’a kebaikan kepada saudaranya, malaikat tersebut berkata : Amin, engkau akan mendapatkan yang sama dengannya.” (HR. Muslim no. 2733)

Sampai-sampai sebagian salaf mengatakan:

Seandainya aku mengetahui bahwa aku memiliki do’a yang mustajab, niscaya akan aku manfaatkan untuk mendo’akan pemimpin.

Masya Allah inilah akhlaq yang mulia. Selalu mentaati pemimpin selain dalam hal maksiat. Dengan inilah akan tercipta kemaslahatan di tengah-tengah kaum muslimin.

Semoga Allah selalu memperbaiki keadaan pemimpin kita. Amin Ya Robbal ‘Alamin.

“Ya Allah, berilah kemanfaatan kepada kami terhadap apa yang kami ajarkan dan ajarkanlah pada kami ilmu yang bermanfaat serta tambahkanlah ilmu pada kami.”

Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush sholihaat. Allahumman fa’ana bimaa ‘allamtana, wa ‘alimna maa yanfa’una wa zidnaa ‘ilmaa. Wa shallallahu ‘ala nabiyyina Muhammad wa ‘ala alihi wa shohbihi wa sallam.

Tulisan lawas, diedit ulang di Madinah Nabawiyah, Jum’at-13 Rabi’ul Awwal 1434 H

www.rumaysho.com

Print Friendly, PDF & Email

TOPIKPEMIMPIN

Artikel sebelumnya
Ulama dengan 1000 Guru di Abad 21
Artikel selanjutnya
10 Keanehan Para Pro-Maulid

Muhammad Abduh Tuasikal, MSc
http://www.rumaysho.com
Lulusan S-1 Teknik Kimia Universitas Gadjah Mada Yogyakarta dan S-2 Polymer Engineering (Chemical Engineering) King Saud University, Riyadh, Saudi Arabia. Guru dan Masyaikh yang pernah diambil ilmunya: Syaikh Shalih Al-Fauzan, Syaikh Sa'ad Asy-Syatsri dan Syaikh Shalih Al-'Ushaimi. Sekarang menjadi Pimpinan Pesantren Darush Sholihin, Panggang, Gunungkidul.
   

Baca Selengkapnya : https://rumaysho.com/3111-taat-pada-pemimpin-yang-zalim.html

Wednesday 24 October 2018

Tak Perlu Hari Santri Jika Kalimat Tauhid Dilecehkan

*Tak Perlu Hari Santri Jika Kalimat Tauhid Dilecehkan*

Oleh: *Mohammad Fauzil Adhim*

Santri itu memuliakan dan menjaga kalimat tauhid. Bahkan simbol-simbolnya pun sangat ia hormati.

Dulu aku diajari, di langgar tempat aku mengaji, Al-Qur'an terjatuh sedikit saja, harus segera mengambilnya, menciumnya dalam-dalam sepenuh cinta dan menjunjungnya di kepala. Segala hal yang berhubungan dengan tauhid, hingga sesobek kertas bertuliskan kalimat thayyibah, terlebih berisi kalimat tauhid, akan dijaga sepenuh hati. Kalau ia terjatuh di lantai, segera dipungut dengan kedua tangan sepenuh takzim, untuk dipindahkan ke tempat yang tinggi.

Jangankan berupa kalimat tauhid yang sempurna, ada secarik kertas bertuliskan اَللّهُ atau مُحَمَّد pun, sudah cukup menjadi alasan untuk cepat-cepat memungutnya dan menempatkannya di tempat yang tinggi lagi mulia. Anak-anak dididik untuk menjaga betul kalimat-kalimat itu. Memuliakan. Bahkan saat sedang bermain pun, anak-anak terlatih untuk tanggap; bergegas memungut jika menjumpai secarik kertas yang di dalamnya ada tulisan kalimat-kalimat mulia. Bahagia rasanya apabila berkesempatan untuk menyelamatkan secarik kertas itu. Bukan santri mereka yang mengabaikannya.

Sebegitu khawatirnya anak-anak tidak dianggap santri jika abai, sehingga mereka bersikap sigap setiap kali melihat simbol-simbol agama ini “terlantar”. Bahkan pada tingkat orang awam, sebegitu takutnya mereka kalau sampai dianggap tidak pantas disebut ummat Muhammad kelak di akhirat sehingga segala yang bertuliskan Arab pun akan dirawat dimuliakan dengan sungguh-sungguh, meskipun itu sebenarnya resep masakan. Ini memang salah, tetapi sikap ini lahir dari kecintaannya kepada agama.

Aku pun diajari bahwa tidak ada yang melecehkan Al-Qur'an dan kalimat tauhid kecuali #PKI dan aku diajari untuk tidak serampangan agar tidak tersesat menjadi PKI. Kakek pun bercerita tentang kekejaman PKI kepada kaum santri. Kemudian diceritakanlah pula kepada anak-anak itu kisah orang-orang yang sesat sesudah mendapatkan petunjuk dari Allah.

Hari ini aku mendengar, hari ini aku juga membaca tentang orang-orang yang dianggap santri tetapi melakukan perbuatan yang membuat jantungku mendidih. Sulit sekali mempercayai perbuatan amat sangat nista itu dilakukan oleh mereka yang masih mengenal air wudhu.

Airmataku jatuh, mengingat masa lalu yang kian menjauh. Aku dulu pernah belajar untuk bangga kepada Banser yang dikenalkan kepadaku sebagai Barisan Ansor Serba Guna. Ansor itu artinya penolong. Aku diajari, itulah penolong agama Allah. Penolong orang-orang beriman. Ataukah singkatan dan maknanya berlaku hanya untuk masa lalu? Sementara sekarang sudah berubah singkatannya?

Sungguh, aku tak perlu hari santri jika di hari itu mereka yang mengaku santri justru melecehkan kalimat tauhid. Apakah sedemikian besar kebencian mereka kepada kalimat tauhid?

Wednesday 19 September 2018

Hukum Puasa Asyuro bagi yang memiliki hutang puasa Ramadhan

حكم صيام عاشوراء
لمن عليه قضاء من رمضان

اختلف الفقهاء في حكم التطوع بالصوم قبل قضاء رمضان على ثلاثة آراء:
1– ذهب الحنفية إلى جواز التطوع بالصوم قبل قضاء رمضان من غير كراهةٍ، لكون القضاء لا يجب على الفور.

2- ذهب المالكية والشافعية إلى الجواز مع الكراهة، لما يلزم من تأخير الواجب، قال الدسوقي: يكره التطوع بالصوم لمن عليه صومٌ واجبٌ، كالمنذور والقضاء والكفارة، سواءٌ كان صوم التطوع الذي قدمه على الصوم الواجب غير مؤكدٍ أو كان مؤكداً كعاشوراء وتاسع ذي الحجة على الراجح.

3– وذهب الحنابلة إلى حرمه التطوع بالصوم قبل قضاء رمضان، وعدم صحة التطوع حينئذٍ ولو اتسع الوقت للقضاء، ولا بد من أن يبدأ بالفرض حتى يقضيه.

ويرجح الشيخ ابن باز والشيخ ابن عثيمين رحمهما الله صحة صيام التطوع كصيام يوم عاشوراء لمن عليه قضاء من رمضان، مع التأكيد على أنه ينبغي الحرص على قضاء ما فات من رمضان؛ لأنه دين يجب أن يقضى.

مسألة: هل يجوز صيام عاشوراء بنية قضاء ما فات من رمضان؟
أجابت اللجنة الدائمة على ذلك بقولها: "إذا صام اليوم العاشر والحادي عشر من شهر محرم بنية قضاء ما عليه من الأيام التي أفطرها من شهر رمضان جاز ذلك، وكان قضاء عن يومين مما عليه؛ لقول النبي صلى الله عليه وسلم: "إنما الأعمال بالنيات، وإنما لكل امرئ ما نوى" (رواه البخاري ومسلم).

وقال العلامة العثيمين رحمه الله: "من صام يوم عرفة، أو يوم عاشوراء وعليه قضاء من رمضان فصيامه صحيح، لكن لو نوى أن يصوم هذا اليوم عن قضاء رمضان حصل له الأجران: أجر يوم عرفة، وأجر يوم عاشوراء مع أجر القضاء".

رابط الموضوع: http://www.alukah.net/spotlight/0/86841/#ixzz5RSWKilsN

*Hukum Puasa Asyuro bagi yang memiliki hutang puasa Ramadhan*

Para fuqoha' berselisih pendapat tentang hukum berpuasa sunnah sebelum membayar kewajiban qodo' puasa bulan Ramadhan menjadi tiga pendapat :

1. Para ulama' madzhab Hanafi berpendapat bolehnya puasa sunnah sebelum mengqodho' hutang puasa bulan Ramadhan tanpa ada kemakruhan sedikit pun, dikarenakan kewajiban mengqodho' tersebut tidak harus segera.

2. Adapun para ulama' madzhab Maliki dan ulama' madzhab Syafi'i berpendapat makruh karena harus mengakhirkan sebuah kewajiban.
Ad Dasuki berkata : Pendapat yang lebih kuat adalah dimakruhkan berpuasa sunnah bagi orang yang memiliki hutang puasa wajib seperti puasa nadzar, qodho' dan kaffaroh, baik yang didahulukan dari puasa wajib tersebut berupa sunnah biasa atau yang mu'akkadah seperti puasa Asyura dan Arofah.

3. Ulama madzhab Hanbali berpendapat haram berpuasa sunnah sebelum mengqodho' hutang puasa Ramadhan, dan tidak sah meskipun waktu untuk mengqodho' masih panjang. Dan wajib baginya untuk mendahulukan yang fardhu (sebelum yang sunnah).

Adapun As Syaikh Bin Baz dan Syaikh Al Utsaimin rohimahumallah lebih menguatkan pendapat sah-nya puasa sunnah  seperti Asyura bagi orang yang memiliki hutang puasa Ramadhan, dengan penekanan bahwa orang tersebut hendaknya berusaha keras untuk mengqodho' hari-hari yang ia tinggalkan dari puasa Ramadhan, karena itu adalah hutang yang wajib dibayar.

Yang jadi pertanyaan : Apakah boleh berpuasa  Asyura dengan niat mengqodho' hutang puasa Ramadhan ?
Lajnah Daimah (KSA) menjawab : " Apabila seseorang berpuasa tanggal 10 dan 11 bulan Al Muharram dengan niat  mengqodho' hutang puasa Ramadhan nya maka yang sedemikian itu diperbolehkan berarti sekaligus sebagai qodho' untuk dua hari dari hari-hari hutang puasa Ramadhan nya, karena Rosululloh shallahu alaihi wasallam bersabda :

إنما الأعمال بالنيات، وإنما لكل امرئ ما نوى

" Sesungguhnya semua amal itu tergantung niatnya dan setiap orang akan mendapatkan sesuai apa yang dia niatkan " ( HR. Bukhori dan Muslim )

Berkata Al Allaamah Asyik Syaikh Al Utsaimin - rohimahullah - : barang siapa puasa arofah, atau puasa pada hari Asyura sedangkan dia punya kewajiban mengqodho' puasa romadhon maka puasanya sah, akan tetapi seandainya dia berniat puasa pada hari ini dalam rangka mengqodho' puasa romadhon maka dia mendapatkan dua pahala: yaitu pahala puasa Arofah, dan pahala puasa Asyura serta pahala puasa mengqodho' juga.

Diterjemahkan oleh
Abu Hammad & Ummu Hammad

Sumber : http://www.alukah.net/spotlight/0/86841/#ixzz5RSWKilsN

Sunday 16 September 2018

Pengertian dan Hukum Badal Haji

*Pengertian dan Hukum Badal Haji*
●︿●●︿●●︿●●︿●●︿●●︿●●︿●

Badal haji atau dalam istilah fiqih sering disebut al-hajju ‘anil ghair, yaitu berhaji untuk orang lain. Dalam prakteknya, seseorang memang melaksanakan ibadah haji namun niat yang diucapakannya hanya membadalkan atau menggantikan seseorang yang tidak mampu melaksanakan ibadah haji karena sebab-sebab tertentu, seperti; meninggal dunia, lumpuh, sakit parah sehingga tidak bisa menjalankan ibadah haji dan seseorang yang sudah tua. Berikut ini adalah beberapa dalil yang menjelaskan bahwa seseorang boleh dibadalkan hajinya:

▪ Orang yang Sudah Meninggal Dunia Boleh Dibadalkan Hajinya

Kewajiban bagi keluarga yang ditinggalkan, apabila al-marhum termasuk kedalam golongan orang yang mampu melaksankan ibadah haji semasa hidupnya, maka wajib bagi ahli waris untuk menghajikannya. Dan apabila sebelum meninggal ia telah bernadzar untuk melaksanakan haji, maka kewajiban bagi keluarganya untuk menghajikannya.

Rosulullah SAW bersabda;

عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا، قَالَ: أَتَى رَجُلٌ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ لَهُ: إِنَّ أُخْتِي قَدْ نَذَرَتْ أَنْ تَحُجَّ، وَإِنَّهَا مَاتَتْ، فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: لَوْ كَانَ عَلَيْهَا دَيْنٌ أَكُنْتَ قَاضِيَهُ قَالَ: نَعَمْ، قَالَ: فَاقْضِ اللَّهَ، فَهُوَ أَحَقُّ بِالقَضَاءِ

Artinya:

Dari Abdullah bin Abbas radhiyallahu ‘anhuma ia berkata: Seorang laki-laki datang kepada Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam lalu berkata kepada beliau: “Sesungguhnya saudara perempuanku nadzar untuk berhaji, tetapi ia meninggal dunia”. Maka Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Andaikata ia mempunyai hutang, bukankah engkau akan membayarnya?”. Ia menjawab: “Ya”. Beliau kemudian bersabda: ”Maka bayarlah hutang haji itu kepada Allah, sebab Allah lebih berhak untuk dibayar”. (Shahih Bukhari juz 8 hal. 142 no. 6699).

Dan dalam hadits lain juga dijelaskan:

عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ بُرَيْدَةَ عَنْ أَبِيهِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ : بَيْنَا أَنَا جَالِسٌ عِنْدَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذْ أَتَتْهُ امْرَأَةٌ فَقَالَتْ : إِنِّي تَصَدَّقْتُ عَلَى أُمِّي بِجَارِيَةٍ وَإِنَّهَا مَاتَتْ فَقَالَ : وَجَبَ أَجْرُكِ ، وَرَدَّهَا عَلَيْكِ الْمِيرَاثُ ، قَالَتْ : يَا رَسُولَ اللَّهِ ، إِنَّهُ كَانَ عَلَيْهَا صَوْمُ شَهْرٍ أَفَأَصُومُ عَنْهَا ؟ قَالَ : صُومِي عَنْهَا ، قَالَتْ : إِنَّهَا لَمْ تَحُجَّ قَطُّ أَفَأَحُجُّ عَنْهَا؟ قَالَ : حُجِّي عَنْهَا

Artinya:

Dari Abdullah bin Buraidah radhiyallahu ‘anhu, dia berkata: Ketika kami duduk di sisi Rasulullah sallallahu alaihi wa sallam, tiba-tiba ada seorang wanita datang dan bertanya: “Sesungguhnya saya bersedekah budak untuk ibuku yang telah meninggal”. Beliau bersabda: “Engkau mendapatkan pahalanya dan dikembalikan kepada engkau warisannya”. Dia bertanya: “Wahai Rasulullah, sesungguhnya beliau mempunyai (tanggungan) puasa sebulan, apakah saya puasakan untuknya?” Beliau menjawab: “Puasakan untuknya”. Dia bertanya lagi: “Sesungguhnya beliau belum pernah haji sama sekali, apakah (boleh) saya hajikan untuknya?” Beliau menjawab: “Hajikan untuknya”. (Shahih Muslim juz 2 hal. 805 no. 1149).

▪ Orang Yang Sudah Tua Boleh Dibadalkan Hajinya

Dalam sebuah hadist dijelaskan bahwa seseorang yang sudah sepuh atau tua boleh dibadalkan hajinya, dengan catatan ia benar-benar tidak bisa melaksanakan ibadah haji karena kondisi fisiknya yang tidak memungkinkan. Namun apabila ia terbilang mampu dan kuat melaksanakan ibadah haji, maka wajib baginya melaksanakan ibadah haji tersebut tanpa dibadalkan.

Rosulullah SAW bersabda:

عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ عَنِ الْفَضْلِ أَنَّ امْرَأَةً مِنْ خَثْعَمَ قَالَتْ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ أَبِى شَيْخٌ كَبِيرٌ عَلَيْهِ فَرِيضَةُ اللَّهِ فِى الْحَجِّ وَهُوَ لاَ يَسْتَطِيعُ أَنْ يَسْتَوِىَ عَلَى ظَهْرِ بَعِيرِهِ. فَقَالَ النَّبِىُّ -صلى الله عليه وسلم- « فَحُجِّى عَنْهُ ».

Artinya:

Hadist riwayat Ibnu Abbas dari al-Fadl: “Seorang perempuan dari kabilah Khats’am bertanya kepada Rasulullah: “Wahai Rasulullah, ayahku telah wajib haji tapi dia sudah tua renta dan tidak mampu lagi duduk di atas kendaraan?”. Jawab Rasulullah: “Kalau begitu lakukanlah haji untuk dia!” (H.R. Bukhari, Muslim, dll).

📌  Tiga Syarat yang Harus Dipenuhi Ketika Seseorang Hendak Melakukan Badal Haji;

1⃣ Orang yang membadalkan haji haruslah orang yang telah melaksanakan ibadah haji.
2⃣ Orang yang akan dibadalkan hajinya telah meninggal dunia atau masih hidup namun tidak mampu melaksanakan ibadah haji karena faktor usia dan sakit.
3⃣ Apabila yang dihajikan itu orang yang telah meninggal dunia, syaratnya bahwa dia adalah seorang muslim.

Demikian penjelasan tentang pengertian dan hukum badal haji.

Wallahu’alam bi shawab.
•┈┈•┈┈•⊰✿📚✿⊱•┈┈•┈┈•

Sikap terhadap pemimpin yang dzalim

Penulis Muhammad Abduh Tuasikal, MSc -  January 25, 2013 Rosululloh shallahu alaihi wasallam bersabda : “Saya memberi wasiat kepada kalian...