Ingatanku kembali dibasahi memori indah
dua belas tahun yang lalu. Agustus tahun 2000, saat itulah aku resmi
melepas masa lajangku. Seorang gadis manis berdarah sunda, itulah yang
telah mencuri hatiku. Namun sayangnya, 4 hari pasca pernikahan, aku
harus menyingkirkan rencana hangatnya bulan madu, karena aku harus
meninggalkannya sementara waktu dan segera berangkat ke Madinah untuk
menyelesaikan studi S1 di sana. Tentu anda bisa membayangkan apa yang
kurasakan saat itu.
Masa liburan musim panas, terasa semakin
hangat karena rindu yang terpendam di lubuk hati yang paling dalam
dapat tertumpahkan kala itu. Mengarungi samudera luas terasa begitu
indah dengan sarana kapal cinta yang bersinar kemilaunya. Dunia yang
luas bagaikan milik berdua. Yang lain biarlah mengontrak dan mengambil
rumah kos-kosan saja.
Rasa bahagia kami lengkap sudah dan kian
menambah semarak hari-hari kami, ketika pada 4 Maret 2002 M, isteriku
melahirkan seorang anak laki-laki yang sangat mirip denganku. Sempurna
sudah statusku sebagai seorang suami yang mampu memberikan keturunan.
Ja’far el Thayyar, itulah nama yang sudah kupersiapkan jauh-jauh hari
untuk anak pertamaku. Tergantung satu harapan, kelak di kemudian hari
buah hati kami bisa mengikuti jejak langkah sahabat agung itu. Sahabat
yang perawakan yang wajahnya mirip baginda Nabi saw.
Setelah tamat kuliah, aku memilih kantor
dakwah di Riyadh sebagai medan pengabdian diri untuk umat. Maka sejak
Februari 2003 aku memulai hidup baru di ranah perjuangan, yang
sebelumnya bergelut di medan akademisi. Terselip keinginan; membawa
keluarga dan mendekatkan buah hati pada dua kota suci; Mekkah dan
Madinah. Setelah proses pengurusan Visa dan yang berkaitan dengannya
kelar, hati ini amat berbunga-bunga. Karena beberapa pekan lagi kami
sekeluarga bisa menikmati udara segar dan lembaran hidup baru di Riyadh.
Namun pada 12 Juni 2003 M lalu, kami
harus segera mengubur impian indah kami. Ketika Allah yang Maha Adil
mengambil kembali titipan-Nya. Ketika itu Ja’far berusia 1,5 tahun. Di
saat kumendengar berita duka ini dari istriku, jasad lemahku seolah-olah
tersambar ledakan dahsyat. Mataku terasa panas oleh air mata yang
serasa menggelegak mencoba keluar. Pertahananku pun bobol, pipiku
dibasah air mata yang tak mampu kubendung. Ya Rabb semoga air mataku ini
merupakan air mata rahmat yang Engkau tanamkan di dalam hati hamba-Mu
ini, dan bukan air mata ratapan dan ketidak relaan dengan ketentuan-Mu.
Tak bisa kubayangkan kepedihan hati
istriku, yang telah mengandung dengan susah payah, melahirkannya dengan
perjuangan antara hidup dan mati, dan merawatnya dengan penuh kasih
sayang. Terlebih tanpa kehadiranku saat itu di sisinya. Akhirnya pada
hari itu pula aku putuskan untuk pulang ke Lampung, guna menghibur hati
istriku walaupun aku sadar bahwa diri inipun belum mampu menata hati
seperti semula.
Walau kesedihan mendera hati ini teramat
sangat, namun aku berusaha terlihat tabah di hadapan istriku dan tak
lepas kubisikan kepadanya agar terus beristighfar dan ikhlas menerima
takdir Allah . Karena apa yang telah Allah tentukan adalah yang terbaik
buat hamba-Nya. Semua peristiwa yang kita alami pasti menaburkan hikmah
bagi hidup kita. Terkadang hikmah itu mampu kita raba dengan kaca mata
bathin. Dan tidak sedikit hikmah-Nya yang belum mampu kita pahami.
Ku kuatkan terus hati istriku untuk
tetap beristighfar dan aku pun berusaha keras menjaga hati ini agar
tidak luluh di hadapannya. Kubisikan di telinganya perkataan Nabi saw
setelah mendapat kabar bahwa salah satu cucunya meninggal dunia,
“Sesungguhnya yang diambil dan yang diberikan adalah milik Allah , dan
segala sesuatu di sisi-Nya telah ditetapkan dengan jelas. Bersabarlah
(wahai putriku) dan mohonlah pahala dari kesabaranmu ini.” Muttafaq
‘alaih.
Kini musibah itu telah berlalu. Dan hati
kami kembali tertata sedikit demi sedikit. Walaupun belum setenang
telaga biru. Seulas senyum kembali menghiasi wajah dan hari-hari kami.
Nasihat DR. Mustafa Siba’i rahimahullah, mampu membangkitkan kami dari
kejatuhan. Seorang pejuang kebenaran asal Siria, selama lima tahun lebih
harus berjuang melawan lumpuh. Dan pada akhirnya usianya terhenti pada
angka 47 tahun. Beliau pernah menulis:
Ada enam perkara yang apabila anda kenang, akan meringankan musibah yang menimpa anda:
• Ingatlah bahwa segala sesuatu yang menimpa kita adalah sesuai dengan takdir ketentuan-Nya.
• Keluh kesah tiada akan mengembalikan apa yang telah hilang.
• Nikmat pemberian-Nya yang masih tersisa adalah lebih banyak dari apa yang telah diambil-Nya.
• Musibah yang menimpa kita sebenarnya jauh lebih ringan dari cobaan yang menerpa sebagian orang.
• Setiap ketentuan-Nya pasti mengandungi hikmah. Jikalau kita mampu menangkap hikmahnya, niscaya kita memandang bahwa musibah merupakan mata air nikmat-Nya.
• Musibah yang menimpa seorang mukmin tiada luput dari; buah pahala atau menggapai ampunan, atau seleksi alami, atau meninggikan derajat atau menolak bala. Dan apa yang ada di sisi-Nya lebih baik dan kekal.
• Ingatlah bahwa segala sesuatu yang menimpa kita adalah sesuai dengan takdir ketentuan-Nya.
• Keluh kesah tiada akan mengembalikan apa yang telah hilang.
• Nikmat pemberian-Nya yang masih tersisa adalah lebih banyak dari apa yang telah diambil-Nya.
• Musibah yang menimpa kita sebenarnya jauh lebih ringan dari cobaan yang menerpa sebagian orang.
• Setiap ketentuan-Nya pasti mengandungi hikmah. Jikalau kita mampu menangkap hikmahnya, niscaya kita memandang bahwa musibah merupakan mata air nikmat-Nya.
• Musibah yang menimpa seorang mukmin tiada luput dari; buah pahala atau menggapai ampunan, atau seleksi alami, atau meninggikan derajat atau menolak bala. Dan apa yang ada di sisi-Nya lebih baik dan kekal.
Saudaraku…
Musibah, ujian dan cobaan hidup adalah sunnatullah. Yang tiada akan sepi dari kehidupan kita. Karena dengan ujian itu, Allah swt mengetahui kadar kwalitas iman kita. Warna cobaan tentu berbeda antara satu orang dengan yang lainnya. Kepergiaan orang-orang terkasih. Didera oleh kemiskinan dan lilitan hutang. Gagal bersinar di tempat kerja. Bangkrut setiap kali bangun usaha. Anak keturunan tak kunjung datang. Rezki berpindah ke tangan orang lain yang sebelumnya dalam genggaman kita dan begitu seterusnya. Itulah di antara warna ujian yang biasa dialami seorang hamba.
Musibah, ujian dan cobaan hidup adalah sunnatullah. Yang tiada akan sepi dari kehidupan kita. Karena dengan ujian itu, Allah swt mengetahui kadar kwalitas iman kita. Warna cobaan tentu berbeda antara satu orang dengan yang lainnya. Kepergiaan orang-orang terkasih. Didera oleh kemiskinan dan lilitan hutang. Gagal bersinar di tempat kerja. Bangkrut setiap kali bangun usaha. Anak keturunan tak kunjung datang. Rezki berpindah ke tangan orang lain yang sebelumnya dalam genggaman kita dan begitu seterusnya. Itulah di antara warna ujian yang biasa dialami seorang hamba.
Perbedaan seorang mukmin sejati dengan
mukmin gadungan dapat dilihat saat cobaan datang dan pasca ujian
melanda. Seorang mukmin bersabar dan mencoba meraih pahala dari
kesabarannya. Sedangkan mukmin palsu, tidak ridha dengan ketentuan
takdir-Nya dan berputus asa dari rahmat-Nya.
Ada beberapa hikmah cobaan dan ujian
yang dapat kita petik dalam hidup ini, sebagaimana disebutkan penulis
buku “hakadza ‘alamatnil hayat”.
• Ingatlah bahwa segala sesuatu yang menimpa kita adalah sesuai dengan takdir ketentuan-Nya.
Sejak usia kita genap empat bulan di
alam rahim, telah ditetapkan-Nya jatah rezki, usia, amal perbuatan,
kebahagiaan atau kesengsaraan kita, seperti dalam riwayat Abdullah bin
Mas’ud ra. Walau semua sudah ditakdirkan, kita tetap berikhtiar maksimal
untuk menjumput rezki, memaksimalkan usia, memperbaiki amal dan meraih
kebahagiaan hidup. Karena kita tak pernah tahu batas takdir kita
terkecuali setelah terjadi.
Suatu ketika Rasulullah saw bersabda,
“Tidaklah salah seorang dari kalian melainkan telah ditentukan tempat
tinggalnya di surga atau neraka.” Para sahabat bertanya, “Jika demikian
mengapa kami harus beramal? Bolehkah kami pasrah saja?.” Beliau
bersabda, “Tidak, tapi beramallah. Karena setiap orang dimudahkan untuk
menggapai takdirnya masing-masing.”
Walau semua orang menghalang-halangi
kepergian orang-orang yang kita cintai, tetap takdir akan berlaku untuk
mereka. Demikian pula dalam bab rezki, jodoh dan seterusnya.
• Keluh kesah tiada akan mengembalikan apa yang telah hilang.
Pernahkah kekasih yang telah pergi untuk
selamanya, akan kembali ke pelukan kita? Tentu tidak. Berkeluh kesah
merupakan benih putus asa dari rahmat Allah. Dan pada akhirnya akan
membuahkan kekufuran. “Dan jangan kamu berputus asa dari rahmat Allah.
Sesungguhnya tiada berputus asa dari rahmat Allah melainkan kaum yang
kafir.” Yusuf: 87.
• Nikmat pemberian-Nya yang masih tersisa adalah lebih banyak dari apa yang telah diambil-Nya.
Setelah Ja’far el Thayyar pergi, kini al hamdulillah telah hadir; Atikah, Arwa, Dihya dan yang masih berada dalam kandungan.
Demikianlah, apa saja nikmat yang diambil oleh-Nya jauh lebih sedikit
daripada karunia dan nikmat yang terus mengucur membasahi kehidupan
kita.
• Musibah yang menimpa kita sebenarnya jauh lebih ringan dari cobaan yang menerpa sebagian orang.
Dunia tak selebar daun kelor, demikian
pribahasa mengajari kita. Jika kita kekurangan harta, lihatlah di sana
ada yang lebih miskin daripada kita. Jika kita belum dianugerahi
keturunan, lihatlah di sana masih banyak orang yang belum melepas masa
lajangnya. Jika kita ditinggal kekasih kita, lihatlah di sana banyak
orang yang telah kehilangan segala hal yang berharga dalam hidupnya. Dan
begitulah seterusnya.
• Setiap ketentuan-Nya pasti mengandungi hikmah.
Anak yang diambil-Nya di usia dini,
barangkali jika ia hidup hingga dewasa, maka ia bukanlah tipe anak yang
berbakti. Yang justru akan menghitamkan wajah orang tuanya kelak.
Kita ditakdirkan menjadi orang miskin,
hikmahnya agar kita banyak memohon kepada-Nya. Atau mungkin kita
bukanlah orang yang berkarakter dermawan saat memiliki kenikmatan dunia.
Dan begitu seterusnya.
• Musibah jika sabar dalam
menghadapinya, akan berbuah pahala atau menggapai ampunan, atau seleksi
alami, atau meninggikan derajat atau menolak bala.
Tapi saudaraku…
Walaupun musibah memberikan banyak buah hikmah dalam kehidupan kita, jangan kita minta kepada Allah untuk diuji atau menerima cobaan yang berat. Sebab belum tentu kita mampu melewati masa-masa sulit dalam ujian.
Walaupun musibah memberikan banyak buah hikmah dalam kehidupan kita, jangan kita minta kepada Allah untuk diuji atau menerima cobaan yang berat. Sebab belum tentu kita mampu melewati masa-masa sulit dalam ujian.
Jangan minta kemiskinan, karena didera
kemiskinan dan serba kekurangan bukanlah perkara ringan. Terlebih
kemiskinan berada di ambang kekufuran.
Jangan minta bencana kepada-Nya. Karena
fakta berbicara, banyak orang yang menggadaikan imannya hanyut terbawa
banjir dan digoyang gempa bumi.
Jangan minta kepergian orang-orang terkasih. Karena tidak sedikit orang yang frustasi dan terjatuh setelah kepergian mereka.
Ya Rabb, anugerahkanlah kesabaran atas
musibah dan cobaan yang menyapa kami. Dan bimbinglah kami agar
senantiasa melihat sapaan, teguran dan peringatan-Mu. Amien.
Sumber:Status Ustadz Abu Ja’far
(http://www.facebook.com/profile.php?id=100000992948094)
(http://www.facebook.com/profile.php?id=100000992948094)
No comments:
Post a Comment