Wednesday 19 September 2018

Hukum Puasa Asyuro bagi yang memiliki hutang puasa Ramadhan

حكم صيام عاشوراء
لمن عليه قضاء من رمضان

اختلف الفقهاء في حكم التطوع بالصوم قبل قضاء رمضان على ثلاثة آراء:
1– ذهب الحنفية إلى جواز التطوع بالصوم قبل قضاء رمضان من غير كراهةٍ، لكون القضاء لا يجب على الفور.

2- ذهب المالكية والشافعية إلى الجواز مع الكراهة، لما يلزم من تأخير الواجب، قال الدسوقي: يكره التطوع بالصوم لمن عليه صومٌ واجبٌ، كالمنذور والقضاء والكفارة، سواءٌ كان صوم التطوع الذي قدمه على الصوم الواجب غير مؤكدٍ أو كان مؤكداً كعاشوراء وتاسع ذي الحجة على الراجح.

3– وذهب الحنابلة إلى حرمه التطوع بالصوم قبل قضاء رمضان، وعدم صحة التطوع حينئذٍ ولو اتسع الوقت للقضاء، ولا بد من أن يبدأ بالفرض حتى يقضيه.

ويرجح الشيخ ابن باز والشيخ ابن عثيمين رحمهما الله صحة صيام التطوع كصيام يوم عاشوراء لمن عليه قضاء من رمضان، مع التأكيد على أنه ينبغي الحرص على قضاء ما فات من رمضان؛ لأنه دين يجب أن يقضى.

مسألة: هل يجوز صيام عاشوراء بنية قضاء ما فات من رمضان؟
أجابت اللجنة الدائمة على ذلك بقولها: "إذا صام اليوم العاشر والحادي عشر من شهر محرم بنية قضاء ما عليه من الأيام التي أفطرها من شهر رمضان جاز ذلك، وكان قضاء عن يومين مما عليه؛ لقول النبي صلى الله عليه وسلم: "إنما الأعمال بالنيات، وإنما لكل امرئ ما نوى" (رواه البخاري ومسلم).

وقال العلامة العثيمين رحمه الله: "من صام يوم عرفة، أو يوم عاشوراء وعليه قضاء من رمضان فصيامه صحيح، لكن لو نوى أن يصوم هذا اليوم عن قضاء رمضان حصل له الأجران: أجر يوم عرفة، وأجر يوم عاشوراء مع أجر القضاء".

رابط الموضوع: http://www.alukah.net/spotlight/0/86841/#ixzz5RSWKilsN

*Hukum Puasa Asyuro bagi yang memiliki hutang puasa Ramadhan*

Para fuqoha' berselisih pendapat tentang hukum berpuasa sunnah sebelum membayar kewajiban qodo' puasa bulan Ramadhan menjadi tiga pendapat :

1. Para ulama' madzhab Hanafi berpendapat bolehnya puasa sunnah sebelum mengqodho' hutang puasa bulan Ramadhan tanpa ada kemakruhan sedikit pun, dikarenakan kewajiban mengqodho' tersebut tidak harus segera.

2. Adapun para ulama' madzhab Maliki dan ulama' madzhab Syafi'i berpendapat makruh karena harus mengakhirkan sebuah kewajiban.
Ad Dasuki berkata : Pendapat yang lebih kuat adalah dimakruhkan berpuasa sunnah bagi orang yang memiliki hutang puasa wajib seperti puasa nadzar, qodho' dan kaffaroh, baik yang didahulukan dari puasa wajib tersebut berupa sunnah biasa atau yang mu'akkadah seperti puasa Asyura dan Arofah.

3. Ulama madzhab Hanbali berpendapat haram berpuasa sunnah sebelum mengqodho' hutang puasa Ramadhan, dan tidak sah meskipun waktu untuk mengqodho' masih panjang. Dan wajib baginya untuk mendahulukan yang fardhu (sebelum yang sunnah).

Adapun As Syaikh Bin Baz dan Syaikh Al Utsaimin rohimahumallah lebih menguatkan pendapat sah-nya puasa sunnah  seperti Asyura bagi orang yang memiliki hutang puasa Ramadhan, dengan penekanan bahwa orang tersebut hendaknya berusaha keras untuk mengqodho' hari-hari yang ia tinggalkan dari puasa Ramadhan, karena itu adalah hutang yang wajib dibayar.

Yang jadi pertanyaan : Apakah boleh berpuasa  Asyura dengan niat mengqodho' hutang puasa Ramadhan ?
Lajnah Daimah (KSA) menjawab : " Apabila seseorang berpuasa tanggal 10 dan 11 bulan Al Muharram dengan niat  mengqodho' hutang puasa Ramadhan nya maka yang sedemikian itu diperbolehkan berarti sekaligus sebagai qodho' untuk dua hari dari hari-hari hutang puasa Ramadhan nya, karena Rosululloh shallahu alaihi wasallam bersabda :

إنما الأعمال بالنيات، وإنما لكل امرئ ما نوى

" Sesungguhnya semua amal itu tergantung niatnya dan setiap orang akan mendapatkan sesuai apa yang dia niatkan " ( HR. Bukhori dan Muslim )

Berkata Al Allaamah Asyik Syaikh Al Utsaimin - rohimahullah - : barang siapa puasa arofah, atau puasa pada hari Asyura sedangkan dia punya kewajiban mengqodho' puasa romadhon maka puasanya sah, akan tetapi seandainya dia berniat puasa pada hari ini dalam rangka mengqodho' puasa romadhon maka dia mendapatkan dua pahala: yaitu pahala puasa Arofah, dan pahala puasa Asyura serta pahala puasa mengqodho' juga.

Diterjemahkan oleh
Abu Hammad & Ummu Hammad

Sumber : http://www.alukah.net/spotlight/0/86841/#ixzz5RSWKilsN

Sunday 16 September 2018

Pengertian dan Hukum Badal Haji

*Pengertian dan Hukum Badal Haji*
●︿●●︿●●︿●●︿●●︿●●︿●●︿●

Badal haji atau dalam istilah fiqih sering disebut al-hajju ‘anil ghair, yaitu berhaji untuk orang lain. Dalam prakteknya, seseorang memang melaksanakan ibadah haji namun niat yang diucapakannya hanya membadalkan atau menggantikan seseorang yang tidak mampu melaksanakan ibadah haji karena sebab-sebab tertentu, seperti; meninggal dunia, lumpuh, sakit parah sehingga tidak bisa menjalankan ibadah haji dan seseorang yang sudah tua. Berikut ini adalah beberapa dalil yang menjelaskan bahwa seseorang boleh dibadalkan hajinya:

▪ Orang yang Sudah Meninggal Dunia Boleh Dibadalkan Hajinya

Kewajiban bagi keluarga yang ditinggalkan, apabila al-marhum termasuk kedalam golongan orang yang mampu melaksankan ibadah haji semasa hidupnya, maka wajib bagi ahli waris untuk menghajikannya. Dan apabila sebelum meninggal ia telah bernadzar untuk melaksanakan haji, maka kewajiban bagi keluarganya untuk menghajikannya.

Rosulullah SAW bersabda;

عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا، قَالَ: أَتَى رَجُلٌ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ لَهُ: إِنَّ أُخْتِي قَدْ نَذَرَتْ أَنْ تَحُجَّ، وَإِنَّهَا مَاتَتْ، فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: لَوْ كَانَ عَلَيْهَا دَيْنٌ أَكُنْتَ قَاضِيَهُ قَالَ: نَعَمْ، قَالَ: فَاقْضِ اللَّهَ، فَهُوَ أَحَقُّ بِالقَضَاءِ

Artinya:

Dari Abdullah bin Abbas radhiyallahu ‘anhuma ia berkata: Seorang laki-laki datang kepada Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam lalu berkata kepada beliau: “Sesungguhnya saudara perempuanku nadzar untuk berhaji, tetapi ia meninggal dunia”. Maka Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Andaikata ia mempunyai hutang, bukankah engkau akan membayarnya?”. Ia menjawab: “Ya”. Beliau kemudian bersabda: ”Maka bayarlah hutang haji itu kepada Allah, sebab Allah lebih berhak untuk dibayar”. (Shahih Bukhari juz 8 hal. 142 no. 6699).

Dan dalam hadits lain juga dijelaskan:

عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ بُرَيْدَةَ عَنْ أَبِيهِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ : بَيْنَا أَنَا جَالِسٌ عِنْدَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذْ أَتَتْهُ امْرَأَةٌ فَقَالَتْ : إِنِّي تَصَدَّقْتُ عَلَى أُمِّي بِجَارِيَةٍ وَإِنَّهَا مَاتَتْ فَقَالَ : وَجَبَ أَجْرُكِ ، وَرَدَّهَا عَلَيْكِ الْمِيرَاثُ ، قَالَتْ : يَا رَسُولَ اللَّهِ ، إِنَّهُ كَانَ عَلَيْهَا صَوْمُ شَهْرٍ أَفَأَصُومُ عَنْهَا ؟ قَالَ : صُومِي عَنْهَا ، قَالَتْ : إِنَّهَا لَمْ تَحُجَّ قَطُّ أَفَأَحُجُّ عَنْهَا؟ قَالَ : حُجِّي عَنْهَا

Artinya:

Dari Abdullah bin Buraidah radhiyallahu ‘anhu, dia berkata: Ketika kami duduk di sisi Rasulullah sallallahu alaihi wa sallam, tiba-tiba ada seorang wanita datang dan bertanya: “Sesungguhnya saya bersedekah budak untuk ibuku yang telah meninggal”. Beliau bersabda: “Engkau mendapatkan pahalanya dan dikembalikan kepada engkau warisannya”. Dia bertanya: “Wahai Rasulullah, sesungguhnya beliau mempunyai (tanggungan) puasa sebulan, apakah saya puasakan untuknya?” Beliau menjawab: “Puasakan untuknya”. Dia bertanya lagi: “Sesungguhnya beliau belum pernah haji sama sekali, apakah (boleh) saya hajikan untuknya?” Beliau menjawab: “Hajikan untuknya”. (Shahih Muslim juz 2 hal. 805 no. 1149).

▪ Orang Yang Sudah Tua Boleh Dibadalkan Hajinya

Dalam sebuah hadist dijelaskan bahwa seseorang yang sudah sepuh atau tua boleh dibadalkan hajinya, dengan catatan ia benar-benar tidak bisa melaksanakan ibadah haji karena kondisi fisiknya yang tidak memungkinkan. Namun apabila ia terbilang mampu dan kuat melaksanakan ibadah haji, maka wajib baginya melaksanakan ibadah haji tersebut tanpa dibadalkan.

Rosulullah SAW bersabda:

عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ عَنِ الْفَضْلِ أَنَّ امْرَأَةً مِنْ خَثْعَمَ قَالَتْ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ أَبِى شَيْخٌ كَبِيرٌ عَلَيْهِ فَرِيضَةُ اللَّهِ فِى الْحَجِّ وَهُوَ لاَ يَسْتَطِيعُ أَنْ يَسْتَوِىَ عَلَى ظَهْرِ بَعِيرِهِ. فَقَالَ النَّبِىُّ -صلى الله عليه وسلم- « فَحُجِّى عَنْهُ ».

Artinya:

Hadist riwayat Ibnu Abbas dari al-Fadl: “Seorang perempuan dari kabilah Khats’am bertanya kepada Rasulullah: “Wahai Rasulullah, ayahku telah wajib haji tapi dia sudah tua renta dan tidak mampu lagi duduk di atas kendaraan?”. Jawab Rasulullah: “Kalau begitu lakukanlah haji untuk dia!” (H.R. Bukhari, Muslim, dll).

📌  Tiga Syarat yang Harus Dipenuhi Ketika Seseorang Hendak Melakukan Badal Haji;

1⃣ Orang yang membadalkan haji haruslah orang yang telah melaksanakan ibadah haji.
2⃣ Orang yang akan dibadalkan hajinya telah meninggal dunia atau masih hidup namun tidak mampu melaksanakan ibadah haji karena faktor usia dan sakit.
3⃣ Apabila yang dihajikan itu orang yang telah meninggal dunia, syaratnya bahwa dia adalah seorang muslim.

Demikian penjelasan tentang pengertian dan hukum badal haji.

Wallahu’alam bi shawab.
•┈┈•┈┈•⊰✿📚✿⊱•┈┈•┈┈•

Sikap terhadap pemimpin yang dzalim

Penulis Muhammad Abduh Tuasikal, MSc -  January 25, 2013 Rosululloh shallahu alaihi wasallam bersabda : “Saya memberi wasiat kepada kalian...