Ketika menginjak SMA, Taylor mempelajari beragam agama di dunia
sebagai bagian dari mata pelajaran di sekolahnya. Ketika itu ia dan
teman-temannya melakukan studi banding ke masjid dan ia sangat terpesona
oleh suara Azan.
Taylor tak bergeming. Ketika teman-temannya pulang setelah
mengunjungi masjid, ia justru semakin tertarik melihat masjid. Ia
bertemu dengan seorang salah satu wanita di dalam masjid dan menanyakan
apakah yang Muslim percayai. “Dia berkata, jika kamu ingin menjadi
muslim, yang harus kau katakan adalah La ilaha illa Allah, Muhammad
Rosulllah. Tak lama kemudian, aku melakukannya. Maka, begitulah ketika
saya menjadi muslim,” katanya.
Setelah berlangsung berbulan-bulan, ayah Taylor mengantarkannya ke
masjid. Ia berkata kepada ayahnya bahwa ia sedang melakukan penelitian
ekstrakulikuler, tetapi ia berhenti. Ia mencoba untuk menjadi muslim
dengan caranya, tetapi itu diakuinya tidak berhasil.
Beberapa tahun kemudian, ternyata dua sepupunya menjadi seorang
muslim. Taylor mengaku masih dalam penelitian dan eksplorasi diri. “Saya
mencoba menemukan tempat di alam semesta, mencoba mendefinisikan siapa
saya dan hubungan saya dengan Sang Pencipta. Di titik itu, saya
memutuskan tidak ada Tuhan dan tak bertuhan,” katanya.
Masuk Universitas
Namun demikian, ketika ia masuk Universitas Toronto dan sedang
melakukan percobaan kromatologi di laboratorium mikrobiologi, Taylor
melihat partikel klorofil di daun dan sesaat ia berpikir pasti ada
Tuhan. “Itu pencerahan yang luar biasa, saya harus tahu apa hubungan
saya dengan Tuhan dan apa tanggung jawab saya,”jelas Taylor.
Saat itu, ada beberapa pria yang bukannya pergi ke Vietnam untuk
berperang, justru masih berada di Kanada karena telah menjadi muslim. Ia
dan beberapa lelaki itu menghadapi perdebatan tentang politik, agama
dan kehidupan yang ada di serikat mahasiswa.
Ketika ia mendengar tentang Islam lagi, ia memutuskan Islam akan
menjadi jalan hidupnya. Islam tidak bergema dengannya sama sekali.
Taylor mengaku tidak benar-benar mengalami rasisme apapun meski
dibesarkan di lingkungan kulit putih.
Namun, selama perdebatan ini ada tema tetap bahkan jika kita adalah
orang yang sadar politik yakni kesadaran spiritual. “Saya mencari
formula untuk tak hanya mendapat kedamaian rohani dan kedamaian batin,
tetapi yang memberi bentuk, struktur dan penguasaan diri, semua itu ada
dalam Islam,” katanya.
Pada akhir tahun 1960-an, adalah masa pergolakan dimana semua orang
melakukan hal mereka sendiri. Taylor selalu ingin tahu tentang
keberadaan dan benar-benar perlu struktur dalam hidupnya. “Islam pasti
memberikan itu,” jelasnya.
Taylor akhirnya berhenti dari kuliahnya di University Tokyo dan
kembali ke Barbados. Orang tuanya telah membuat rumah di sana. Pada saat
itu, Taylor mengalami pergolakan batin. Ia memerlukan perubahan tetapi
belum memutuskan apa dan bagaimana perubahan tersebut. “Akhirnya saya
memutuskan pergi ke Barbados, merenung dan menghabiskan beberapa bulan
di pantai dan memutuskan masuk Islam,” terangnya.
Majalah Azizah
Sejak itu, orang tua Taylor melihat perubahan dalam dirinya. Pada
awalnya Taylor berpikir orang tuanya akan sedih karena ia tidak memilih
agama orang tuanya. Tetapi nyatanya, orang tua Taylor senang karena
setidaknya ia memilih sebuah agama yang diyakini.
Taylor akhirnya menikah dengan warga Amerika dan pindah ke Houston.
semakin memperdalam ilmu agama islam dengan pergi ke Sekolah Alquran.
Disana ia belajar bahasa Arab dan Alquran. Dari sana, ia diundang ke
sebuah konferensi di awal 90-an untuk wanita muslim Amerika.
Pada saat konferensi, Taylor kagum dengan prestasi para wanita muslim
dan merasa perlu membukukannya. Jadi, ketika perjalanan pulang, ia
terus berpikir keras bagaimana cara merealisasikannya. Akhirnya,
tercetuslah ide untuk membuat majalah khusus wanita muslim. “Akhirnya
saya melakukannya, menulis format dan memutuskan apa saja yang ada
dipikiran saya,”katanya.
Dari situ Taylor membuat majalah wanita muslim Amerika, Azizah. Dari
majalah tersebut, Taylor memeroleh banyak pernghargaan. Taylor didapuk
sebagai penerima penghargaan Jurnalisme Etnis di tahun 2009. Taylor
juga memberikan kontribusi terhadap Majalah PINK, Review &
Expositor, Majalah Aramco dan publikasi lainnya.
Dia juga pernah memberi kuliah tentang Islam dan wanita Muslim pada
konferensi nasional dan internasional, termasuk Konferensi Pemasaran
Muslim Universitas Duke, Simposium Fulbright di Perth, Australia,
Divinity Harvard School Islam di Amerika dan beberapa konferensi
lainnya.
Taylor mengatakan bahwa Islam lebih dari sekedar agama, itu adalah
cara hidup. “Anda dapat menjadi seorang Muslim mana saja, dan itu hal
yang indah tentang Islam. Islam universal. Saya pikir Islam akan bangkit
kembali karena tidak ada dikotomi antara menjadi Muslim dengan menjadi
Amerika,” jelasnya.
No comments:
Post a Comment