Monday 11 July 2016

ULAA-IKAN NUHAAH

Sebuah Silsilah Biografi Para Pakar Nahwu-Sharaf Populer Sepanjang Zaman (edisi 1)

IBNU MALIK (600-672 H/1203-1274 M)

Al-Imam Jamaluddin, Muhammad bin ‘Abdullah bin ‘Abddullah bin Malik –semoga Allah merahmati beliau- begitu populer di jagad nahwu, terutama karena Alfiyyah hasil gubahan beliau. Apalagi  di Indonesia, belum afdhal rasanya kalau ada pakar nahwu belum pernah menghafal madzhumah 1.002 bait tersebut. Kalau pun tidak mampu menghafalnya, maka minimaaal banget setiap nahwi sudah pernah mempelajarinya. Sekalipun beliau lebih populer dengan sebutan Ibnu Malik, tidak dengan nama aslinya seperti kebanyakan ulama yang bernama Muhammad, tapi banyak santri yang tahu bahwa nama asli beliau adalah Muhammad karena beliau sebutkan hal ini di bait pertama Alfiyyah.

Lahir tahun 600 H (pendapat lain menyatakan pada tahun 598 H atau 601 H) di kota Jaen (ibukota Provinsi Jaen, Spanyol hari ini), beliau tumbuh di tengah ulama-ulama Andalusia yang terkenal kokoh dalam beragam ilmu pengetahuan. Di antara syaikh beliau yaitu Abu Ali Asy-Syalubin (w. 645 H), ketua para pakar nahwu di Andalusia kala itu sertaTsabit bin Khayyar Al-Labli, salah satu imam muqri di sana. Ibnu Malik muda pun mulai menampakkan kecemerlangannya di beberapa cabang ilmu, terutama di bidang bahasa Arab dan qiraat. Tak hanya itu beliau juga menghafal ribuan bait syair. Dalam ilmu fikih, beliau mendalami madzhab Maliki seperti halnya kaum muslimin Andalusia dan Afrika Utara.

Kurang lebih pada usia 27 tahun beliau bersama sebagian rombongan kaum muslimin berhijrah dari Eropa ke Syam (kebalikan yang terjadi hari ini). Penting untuk diketahui bahwa sebenarnya sudah menjadi hal yang lumrah bagi para penuntut ilmu di Maghrib (Andalusia, Maroko, dst) untuk rihlah ke Masyriq (Mesir, Syam, dst). Bedanya Ibnu Malik kali ini bukan sekedar safar untuk menuntut ilmu tapi memang hijrah demi melindungi diri. Itu karena tentara-tentara Kerajaan Castile (Reino de Castilla) terus menerus mengepung dan menyerang kota Jaen dan sekitarnya di Andalusia yang kala itu berada di bawah Daulah Muwahhidin. Adapun kondisi Mesir, Syam, dan sekitarnya pada hari itu relatif lebih aman karena memang diperintah oleh Daulah Ayyubiyyah yang berjasa mengalahkan tentara Salib beberapa kali pada tahun-tahun sebelumnya.

Di kota-kota negeri Syam -seperti Damaskus, Aleppo, dan Homs- beliau terus mengasah keilmuannya, melengkapi apa yang beliau telah pelajari di Andalusia. Uniknya, beliau juga belajar fikih dengan para ulama Syafiiyyah di sana dan akhirnya pindah haluan dari seorang Maliki menjadi Syafi’i (marhaban bi fadhilatil Imam!). Beliau belajar nahwu di bawah asuhan para pakar di antaranya nahwi sekaliber Ibnu Ya’isy (w. 643 H), penulis Syarh Al-Mufashshal. Beliau juga meneguk ilmu qiraat dari beberapa masyayikh, termasuk syaikhul qurra’ di zamannya, ‘Alamuddin As-Sakhawi (w. 643 H), penyusun Hidayatul Murtab dan ulama pertama yang mensyarah mandzhumah Syathibiyyah.

Ibnu Malik pun kian matang dan semakin diakui keilmuannya, namun beliau terus melanjutkan rihlah ilmiyyahnya, kali ini ke Hama, salah satu kota di Suriah hari ini. Di sinilah, pada tahun 650 H, beliau menyusun Alfiyyah yang merupakan ringkasan dari madzhumah beliau lainnya: Al-Kafiyah Asy-Syafiyah (3000-an bait) yang telah digubah lebih dulu saat masih di Aleppo. Lantas beliau pergi ke Kairo untuk belajar dari para ulama Mesir.

Di Kairo beliau mengalami kesulitan ekonomi hingga hidup dalam kondisi memprihatinkan, terlebih di negeri orang. Dalam keadaan darurat itulah beliau terpaksa mengajukan permohonan bantuan kepada Raja Adzh-Dzhahir Baibars (w. 676 H). Akhirnya, beliau malah ditawari untuk dilantik menjadi dosen dan ditempatkan di Damaskus oleh Sang Raja di Al-Madrasah Al-‘Adiliyyah Al-Kubra (semacam perguruan tinggi yang kini bangunannya menjadi markas Majma’ Lughah ‘Arabiyyah). Ibnu Malik pun menerima tawaran karena ia sangat membutuhkan penghasilan tetap untuk menyambung hidup beliau.

Kembali ke Damaskus, Ibnu Malik semakin sering mengajar dan menulis di Madrasah tersebut. Lahirlah –bitaufiqillah- melalui sentuhan beliau para ulama yang handal semisal Imam An-Nawawi, Ibnu Jama’ah, Ibnun Nahhas, termasuk putra beliau, Badruddin (Ibnun-Nadzhim). Di samping itu, setidaknya 46 kitab telah beliau susun. Karangan beliau bervariasi dari mandzhumah, natsr, dan syarah yang berkaitan dengan bahasa Arab, nahwu, sharaf, dan qiraat. Beliau sendiri sangat jarang menyusun syair non mandzhumah. Uniknya, beliau pernah menulis sebuah buku yang membahas sisi nahwu dari hadits-hadits di Shahih Al-Bukhari.

Beliau tidak pernah merasa lelah mengajar. Bahkan tatkala kelas sudah selesai pun ia tetap di tempat. Seringkali murid-murid lain yang bukan saat itu jadwal belajarnya langsung datang menghampiri beliau, maka beliau pun langsung lanjut mengajar lagi. Begitu seterusnya. Hingga jika tidak ada murid yang inisiatif datang mengisi waktu saat jeda antar kelas, beliau pun berteriak ke sekeliling melalui jendela memanggil orang-orang di sekitar Madrasah, “Qiraat, qiraat... , Bahasa Arab, bahasa Arab...!” Yakni: Ayo belajar! Beliau mengemukakan alasan mengapa beliau melakukan itu, “Aku menganggap bahwa amanah menyebarkan ilmuku ini belum terpenuhi kecuali hingga aku melakukan ini. Boleh jadi banyak orang yang tidak mengetahui bahwa aku terus duduk di sini untuk mengajar lagi.”

Jika dalam ilmu nahwu-sharaf beliau tidak memiliki tandingan di Damaskus, maka dalam ilmu qiraat beliau tidak sendirian. Banyak muqri di sana yang bahkan beberapanya jauh lebih populer, lebih senior dari beliau, dan lebih expert, termasuk yang sama-sama mengajar di Al-‘Adiliyyah. Contohnya Syaikhul Qurra’ Abul Fath Al-Anshari (w. 657 H), Al-Qasim Al-Lauraqi (w.661), dan Abu Syamah (w.665 H).

Ibnu Malik yang berkun-yahkan Abu ‘Abdillah ini dikenal sebagai seorang yang shalih, cerdas, kuat hafalannya, teliti, wara’, dan berakhlak mulia. Para ulama di zaman itu juga memandang Ibnu Malik sebagai orang yang semangat dan tak lelah menuntut ilmu. Bahkan di hari terakhir kehidupannya saat sakit ia masih semangat menghafal delapan buah syawahid dalam nahwu yang berbentuk syair!

Beliau begitu dihormati ulama lain, sampai-sampai jika beliau selesai mengimami shalat jamaah di masjid kampus Al-Madrasah Al-‘Adiliyyah, Ibnu Khallikan (w. 681 H) Sang Hakim Agung, mengantarkan beliau pulang hingga ke rumah beliau. Tidak aneh makanya kalau Imam Al-Isnawi berkata tentang beliau: كان إمام وقته في اللغة والنحو والقراءات “Di zamannya, beliau adalah imam dalam bahasa Arab, nahwu, dan qiraat.”.

Hebatnya, beliau mencapai kedahsyatan itu di tengah pahit getirnya gejolak ekonomi, keamanan, dan politik. Di masa hidup beliaulah jatuhnya ibukota Kekhalifahan Abbasiyyah, Baghdad, ke tangan Tartar serta terjadinya Perang Salib yang kelima hingga kedelapan. Beliau juga melihat satu demi satu kota-kota di Andalusia diserang, dikepung, atau bahkan direbut. Ditambah lagi beliau turut menjadi saksi mata peralihan kekuasaan di Mesir, Syam dan sekitarnya dari Daulah Ayyubiyyah ke Kesultanan Mamalik. Benar-benar sebuah perjuangan keras Ibnu Malik dalam menuntut ilmu dan menyebarkannya.

Sedihnya, Imam Syamsuddin As-Sakhawi (w. 902 H) mengisahkan bahwa beliau wafat karena sakit akibat depresi, mirip sebab wafatnya Sibawaih. Beberapa hari sebelum beliau wafat beliau diundang di sebagian daerah Damaskus untuk menjadi khathib dan imam shalat Jumat. Ternyata undangan ini berisi jebakan dari pihak-pihak yang dengki dan tidak menyukai Ibnu Malik. Selesai shalat beliau ditanya di hadapan umum oleh salah seorang yang mendengkinya tentang makhraj huruf Alif. Sayangnya, mungkin karena faktor usia atau karena jarak penanya cukup jauh di tengah jamaah yang banyak, Ibnu Malik kurang mendengar dengan baik pertanyaan tersebut sehingga beliau mengira yang ditanyakan adalah makharij seluruh huruf. Belliau pun menjelaskan makhraj setiap huruf satu per satu hingga 29 huruf. Orang-orang yang mendengkinya pun menertawai beliau. Jebakan mereka berhasil. Ibnu Malik merasa tertekan dan lantas pulang.

Selama beberapa hari beliau terus melanjutkan aktifitas ilmiah seperti biasa sambil memendam depresi yang tidak tertahankan, apalagi di usia yang kurang lebih sudah 72 tahun. Ibnu Malik akhirnya sakit parah karena tekanan batin dan wafat di Damaskus pada Senin, 12 Syaban 672 H/ 21 Februari 1274 H. Demikianlah sekilas biografi tokoh yang disebut oleh Ibnul Jazari: إمام زمانه في العربية “Imam dalam ilmu-ilmu bahasa Arab di zamannya.” Wallahu a'lam.

-----
Beberapa sumber:
Ghayatun Nihayah fi Thabaqatil Qurra’: Ibnul Jazari
Thabaqat Syafiiyyah: Al-Isnawi
Al-I’lan bit Taubikh liman Dzammat Tarikh: Syamsuddin As-Sakhawi
Bughyatul Wu’aah fi Thabaqatil Lughawiyyin wan Nuhaah: As-Suyuthi
Dst.

No comments:

Post a Comment

Sikap terhadap pemimpin yang dzalim

Penulis Muhammad Abduh Tuasikal, MSc -  January 25, 2013 Rosululloh shallahu alaihi wasallam bersabda : “Saya memberi wasiat kepada kalian...