Saturday 24 March 2012

Ahlussunnah dan Sikap Caci-maki Ulama

BEBERAPA waktu lalu  penulis sempat terjebak dalam status Facebook milik seseorang yang mengakui dirinya sebagai seorang santri dan sekaligus seorang mahasiswi di salah satu Universitas Swasta di Aceh.
Dalam status Facebook wanita tersebut penulis mendapati puluhan bahkan ratusan komentar yang menyudutkan para ulama, khususnya para ulama penegak sunnah. Diantara ulama yang menjadi sasaran Facebooker tersebut adalah Syeikhul Islam Ibnu Tamiyah رحمه الله  , Syeikh Muhammad bin Abdul Wahab رحمه الله   dan Syeikh Muhammad Nahieruddin Al Al bani رحمه الله .
Dalam banyak kasus, kejadian seperti ini juga terjadi di masarakat. Pelakunya bahkan tokoh terpandang dalam Islam .
Entah apa yang menyebabkan saudara kita tersebut sangat membenci para ulama.  Dalam status Facebook tersebutdia bukan saja mencaci tetapi sampai menyesatkan dan bahkan mengkafirkan Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah رحمه الله  . Sungguh sangat disayangkan apalagi kata – kata cacian tersebut keluar dari mulut (via Facebook) seorang wanita yang mengaku dirinya sebagai seorang santri.
Penulis juga pernah menjadi santri selama sebelas tahun (umur 7 tahun sampai 18 tahun ). Sebagai mantan santri penulis juga sangat keberatan dengan ulah orang – orang yang menghina ulama. Pada dasarnya penulis tidak bermaksud memperlebar persoalan ini apalagi hal tersebut terjadi di dunia maya, namun mengingat para ulama yang menjadi sasaran, maka sangat tidak etis rasanya apabila dibiarkan begitu sja.
Abu Darda رضى الله عنه  meriwayatkan sebuah hadits bahwa Nabi   صلى الله عليه وسلم  pernah bersabda: “ Sesungguhnya para Ulama adalah pewaris para Nabi, Sesungguhnya para Nabi tidak mewariskan dinar dan dirham, tetapi mereka mewariskan ilmu” ( H.R. Abu Dawud dan Tirmidzi).
Berpedoman pada hadits ini sebagai umat Muhammad صلى الله عليه وسلم sudah selayaknya kita menghormati para ulama. Dalam hadits ini juga terlihat jelas bahwa para ulama dihormati karena ilmunya, adapun orang – orang yang bergaya sok ‘alim tapi tidak berilmu maka tidak dikatagorikan sebagai ulama. Menurut penulis persoalan ini harus benar – benar difahami khususnya bagi para penuntut ilmu semisal santri dan mahasiswa.
Pembimbing umat
Ulama adalah orang – orang yang dianugerahkan ilmu oleh Allah سبحا نه وثعالى, namun demikian ilmu itu mereka peroleh melalui proses belajar yang panjang, bukan melalui proses bertapa atau semedi seperti yang disangka oleh sebagian orang. Ulama adalah penunjuk jalan dan pembimbing umat setelah wafatnya Nabi صلى الله عليه وسلم. Jika yang

mereka sampaikan adalah ilmu yang berasal dari Allah سبحا نه وثعالى dan Rasulnya صلى الله عليه وسلم  sangat tidak layak dan tidak patut bagi kita untuk mencela mereka apalagi sampai menuduh mereka sesat.
Apalagi jika ilmu kita masih dibawah mata kaki (bahasa Aceh; ‘et tum’et). Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah adalah seorang ulama rabbani yang tidak pantas kita cela apalagi ilmu yang kita miliki tertinggal jauh jutaan kilometer dari ilmu beliau. Umur sepuluh tahun beliau

telah hafal Al–Quran dan menguasai berbagai macam ilmu syar’i seperti hadits, ushul fiqh dan tafsir sedangkan kita membaca “Bismillahirrahmanirrahim” saja harus merangkak seperti kura – kura keracunan.
Demikian juga dengan Syeikh Muhammad bin Abdul Wahab dan Syeikh Muhammad Nashieruddin Al – Al Bani mereka adalah ahli ilmu bukan ahli fitnah seperti kita. Syeikh Muhammad bin Abdul Wahab dengan semangat jihadnya telah menghancurkan berbagai bentuk simbol – simbol kesyirikan yang disembah dan dipuja oleh “Ahlul Hawa” (pengikut hawa nafsu). Seharusnya kita berterima kasih kepada beliau bukan malah sebaliknya menuduh beliau sesat. Sejarah juga telah mencatat bahwa Syeikh Al Bani menghabiskan waktunya lebih dari dua puluh tahun hanya untuk meneliti hadits, tidak seperti kita yang setiap hari tersibukkan dengan judi poker malah tiba–tiba berani menyesatkan beliau. Syeikh Al Bani membeli makanan untuk diri dan keluarganya melalui jerih payahnya dengan usaha reparasi jam, bukan seperti orang – orang yang mengaku ‘alim hari ini yang tersibukkan dengan proposal dan mengiba kepada penguasa.
Jangan Tertipu Penghasut
Penulis menduga bahwa saudara kita yang menghina ulama di Facebook tersebut telah termakan oleh cerita – cerita dusta yang sengaja dihembuskan oleh “Ahlul Hawa”. Tujuan mereka tidak lain Cuma ingin menjerumuskan umat ini dalam kesesatan. Mereka menisbatkan cerita – cerita dusta dan palsu kepada ulama ahlussunnah semisal

Syeikh Muhammad Bin Abdul Wahab. Cerita – cerita dusta tersebut menurut penulis kemungkinan besar ditularkan beberapa penulis buku. Sebenarnya sah – sah saja membaca buku tersebut, namun sebagai seorang yang hidup dilingkungan ilmiyah (mahasiswa dan santri) seharusnya mereka harus mampu membandingkan isi buku tersebut dengan ratusan referensi lain yang menyajikan fakta berbeda. Sebaiknya jangan hanya terpaku dengan buku – buku yang berasal dari satu sumber. Bagi seorang mahasiswa dan santri kemampuan analisa sangat dibutuhkan agar mampu bersikap bijak dan mampu melahirkan kesimpulan yang tidak keluar dari standar ilmiyah.
Tak Pantas Menghinakan Ulama
Dalam sebuah hadits dari Anas bin Malik رضى الله عنه, Nabi صلى الله عليه وسلم bersabda: “Tidak beriman seseorang daripada kalian sehingga dia mencintai saudaranya sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri (H.R Bukhari dan Muslim).
Jika kita mau berfikir sehat dan rasional tentunya hadits ini bisa menjadi dasar bagi kita untuk saling mencintai sesama muslim, bukan sebaliknya saling mencaci dan menghujat. Dalam hadits lain yang juga terdapat dalam sahih Bukhari dan Muslim, bersumber dari Abdullah bin Mas’ud رضى الله عنه, Rasul  صلى الله عليه وسل  bersabda: “Membenci seorang muslim adalah sebuah kefasiqan dan memerangi mereka adalah sebuah kekafiran” (H.R. Bukhari

Muslim). Tidakkah kita faham apa yang dimaksud oleh Nabi صلى الله عليه وسلم? Kita dilarang untuk membenci dan menghujat seorang muslim.
Apalagi yang kita hujat itu adalah ulama seperti Ibnu Taimiyah dan Syeikh Muhammad bin Abdul Wahab dan juga ulama – ulama lainnya. Kita juga jangan tersegasa – gesa menuduh mereka (ulama) telah sesat. Dalam sebuah hadits yang bersumber dari Abu Dzar Al Ghifari رضى الله عنه, Rasul  صلى الله عليه وسلم bersabda: “Barang siapa memanggil seseorang dengan sebutan kafir atau menyebutnya sebagai musuh Allah sedangkan

(mereka yang dituduh) tidak demikian (bukan kafir) maka kekafiran itu akan kembali kepadanya (sipenuduh). Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim dalam Shahihnya.
Sebagai seorang santri dan mahasiswa yang mengaku dirinya sebagai ahlussunnah waljama’ah perlu dicatat, diingat dan jika perlu harus dihafal bahwa salah satu ciri – ciri ahlussunnah waljama’ah adalah tidak mudah mencaci –apalagi– mengkafirkan orang lain. Perilaku yang mudah mengkafirkan orang mukmin adalah perilaku khawarij, jangan sampai kita menyamai mereka dalam hal ini.
Akhirnya hanya kepada Allah kita semua akan kembali sambil mengharap wajahNya serta diampuni segala dosa dan kesilapan yang telah terlanjur kita perbuat. Wallahu Waliyut Taufiq.

No comments:

Post a Comment

Sikap terhadap pemimpin yang dzalim

Penulis Muhammad Abduh Tuasikal, MSc -  January 25, 2013 Rosululloh shallahu alaihi wasallam bersabda : “Saya memberi wasiat kepada kalian...